Prof. DR. Asep Warlan Yusuf, MH., seorang Pakar Hukum dari Universitas
Parahiyangan menyampaikan temuannya perihal perilaku penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh anggota DPRD di Indonesia.
Berikut hasil
penelitian dari 71 daerah di Indonesia yang dirangkum menjadi 22
perilaku negatif anggota Dewan di Indonesia:
1. Rendahnya rasa tanggung jawab dalam mengelola dana publik (cost awarness), sehingga dana yang ada dalam APBD dimanfaatkan dan digunakan untuk kepentingan anggota Dewan atau eksekutif itu sendiri.
2. Membentuk undang-undang/ perda tanpa dibuat
Naskah Akademik terlebih dahulu, sehingga undang-undang/ perda dibuat
tanpa ada kejelasan landasan filosofis, sosiologis dan yuridisnya yang
memadai.
3. Membentuk perda inisiatif yang tidak tercantum dalam
Prolegnas/Prolegda. Undang-undang/perda dipaksakan masuk dalam
pembahasan karena kepentingan tertentu. Adanya hidden agenda dengan
memanfaatkan perda inisiatif yang dibuat dengan tujuan semata-mata dalam
rangka menguntungkan partainya, golongan atau pihak tertentu saja bukan
untuk kepentingan rakyat.
4. UU/perda dibuat tetapi daya waktu berlakunya amat
singkat, karenanya memerlukan revisi/perubahan segera. Hal ini terjadi
karena dibuat dengan tidak mempertimbangkan antisipasi perkembangan
jangka jauh. Tentunya ini merupakan pemborosan biaya, tenaga, dan waktu.
5. Dengan dalih untuk memperkaya materi muatan
undang-undang/ perda yang sedang disusun, anggota Dewan melakukan studi
banding ke luar negeri, tetapi hasilnya sangat minim dan tidak memadai,
karena lebih banyak waktu dan kegiatannya diisi dengan rekreasi.
Sehingga materi muatan/substansi undang-undang/ perda tidak mengalami
perbaikan dan pengkayaan yang berarti.
6. Perda dibuat hanya untuk kepentingan peningkatan
PAD semata, dengan konsekuensi secara ekonomi/finansial memberatkan
masyarakat dan/atau dunia usaha.
7. Perda dibuat untuk memberikan dasar pembenar
(jastifikasi/ legalisasi) teradap kegiatan yang merusak atau mencemari
lingkungan dan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan yang
mengabaikan prinsip pembangunan berkelanjutan.
8. Menerima uang atau barang atau sesuatu janji dari
pihak di luar Dewan untuk memuat sesuatu kebijakan sesuai permintaan
kepentingan pihak tersebut ke dalam undang-undang/ perda yang sedang
dibahas. Undang-undang/ perda dibuat di luar konteks (kerangka) aspirasi
masyarakat.
9. Isi undang-undang/ perda tidak sesuai dengan
tujuan pembangunan, Undang Undang Dasar dan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Akibatnya undang-undang tersebut kemudian akhirnya
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi atau oleh Pemerintah untuk perda.
Hal ini dianggap sebagai suatu pemborosan keuangan negara/daerah,
sesuatu yang sia-sia. Hal ini terjadi karena UU/perda dibuat dengan
penuh vested interest, sembrono dan ketidakcermatan.
10. Adanya oligarki (kelompok/elit tertentu) yang
karena jabatannya dapat menentukan kata akhir untuk menerima dan menolak
suatu RUU/raperda.
11. UU/Perda dibentuk untuk sekedar memenuhi aspek
formal, tidak sesuai dengan kebutuhan negara/masyarakat. Substansinya
sangat lemah dan apa adanya, serta prosesnya pun tidak mempertimbangkan
masukan stakeholders. UU/perda dibuat dengan melanggar atau tidak sesuai
dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik
sebagaimana diatur dalam UU No. 10/2004.
12. Melibatkan tenaga ahli tetapi sesungguhnya tidak
memiliki kualifikasi intelektual, akademik, dan pengalaman yang
memadai. Bahkan “tenaga ahli” ini diambil dari orang-orang partai dan
partisannya sendiri yang unqualified dan incompetence. Cara ini
dimaksudkan untuk sekedar pembagian rezeki di antara anggota dewan dan
orang-orang parpol dan orang-orang sekitarnya. Pelibatan tenaga ahli
hanya sebatas formalitas (sekedar “pinjam mulut”) yang realitanya tidak
terlibat. Jadi tujuannya hanya sebatas untuk memperkuat legitimasi.
13. Proses penyusunan undang-undang/ raperda dibuat
dengan mengulur-ulur waktu dengan alasan yang tidak rasional dan tidak
logis, dengan maksud untuk menggagalkannya sehingga tidak jadi terbit
UU/perda tsb.
14. Pengawasan dari parlemen telah diterjemahkan
sebagai sarana mencari kesalahan dan kelemahan pemerintah/eksekuti f
secara mengada-ada atau dibuat-buat.
15. Pengawasan dilakukan cenderung untuk menjatuhkan lawan politik atau pemerintah yang sedang berkuasa.
16. Pengawasan dilakukan untuk mencari imbal jasa, keuntungan pribadi dan golongan (money politics).
17. Paradigma pengawasan politik telah mengakibatkan
fungsi pengawasan yang sesungguhnya terabaikan, sehingga hasil
pengawasan kurang memberikan manfaat bagi pengelolaan pemerintahan.
Pengawasan yang dilakukan, belum memberikan umpan balik (feed back) yang substansial bagi pengelolaan pemerintahan.
18. Pengawasan dilaksanakan selama ini terkesan
sporadis dan reaktif, tanpa program, sehingga pengawasan belum mampu
untuk mencegah terjadinya penyimpangan dan melakukan koreksi perbaikan.
19. Pengawasan lebih banyak terfokus dan “terjebak”
pada aktivitas pemeriksaan yang berupa kunjungan kerja, akibatnya
permasalahan masyarakat tak terselesaikan dan sering tak muncul jalan
keluar menuju perbaikan yang diharapkan oleh masyarakat.
20. Hak masyarakat untuk mengawasi belum sepenuhnya
diberikan atau dijamin oleh negara, sementara DPR/DPRD sebagai wakil
rakyat, belum optimal mengkoordinasikan serta menyalurkan hak-hak
pengawasan masyarakat. Saluran melalui para wakilnya tidak mampu masuk
dan menembus gedung parlemen. Sementara keberanian masyarakat untuk
langsung menyuarakan haknya ke pemerintahan masih belum muncul karena
takut atau apatis.
21. Meminta bagian/komisi/fee dari hasil kerjasama
dengan pihak ketiga antara lain dalam pengadaan dan/atau penjualan
barang dan jasa yang seharusnya masuk ke kas negara/daerah.
22. Menerima pemberian dalam berbagai bentuk, yang
patut diketahui pemberian tersebut berhubungan dengan jabatannya dan
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, sehingga perbuatan ini dapat
dikualifikasi sebagai gratifikasi.
Sumber : mishbahulmunir
loading...
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment